Keadilan dalam Realitas Kehidupan Bernegara

Keadilan dalam Realitas Kehidupan Bernegara
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut pancasila pun keadilan adalah hak rakyat Indonesia terdapat dalam bagian yang kelima yaitu “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam UUD 1945 mengenai kewenangan dan penegakan hukum yaitu pada Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tatausaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 
Kemudian Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Serta Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Tapi bagaimana realitas keadilan di kehidupan bernegara saat ini ? Ya, keadilan dan hukum saat ini dapat dibeli dengan uang. Siapapun yang mempunyai uang dalam pengadilan tak jarang akan menang dan akhirnya keadilan pun tidak ada. Banyak contoh kasus dimana keadilan tidak dihargai, seperti beberapa kasus berikut :
       1.    Mencuri sebuah semangka Dipenjara 2 bulan 10 Hari
Dua orang pria, Basar Suyanto dan Kholil, dijatuhi hukuman 2 bulan lebih 10 hari penjara di Pengadilan Negeri (PN) Kediri, Jawa Timur (Jatim), pada tahun 2009 lalu karena terbukti telah mencuri sebuah semangka.
Karena vonis yang dijatuhkan PN Kediri tidak berperikemanusiaan, sejumlah perwakilan mahasiswa melakukan protes dan memberikan dukungan kepada kedua terdakwa. Dalam sidang banding, kedua pria tersebut akhirnya dihukum penjara selama 15 hari.
2.    Dituduh Mencuri 7 Kayu Jati Ukuran 15 cm, Dituntut 5 tahun
Kasus Nek Asyani yang diduga mencuri 7 batang kayu jati milik Perum Perhutani sempat menjadi perhatian nasional. Menurut wanita tua dari Situbondo, Jawa Timur tersebut, kayu jati itu dulunya ditebang oleh almarhum suaminya dari lahan mereka sendiri yang kini telah dijual.
Namun, pihak Perhutani tetap mengatakan bahwa kayu jati itu berasal dari lahan milik mereka dan bersikeras memperkarakan ulah Nenek Asyani itu. Dikarenakan hal ini, sejak bulan Juli–Desember 2015, Nenek Asyani mendekam di dalam penjara untuk menunggu proses persidangan. Pihak pengadilan memberikan ancaman maksimal 5 tahun penjara.
3.    Bakar Ribuan Hektar Hutan Malah Dibebaskan
Tapi anehnya, korporasi pelaku pembakaran hutan di Sumsel dibebaskan oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Parlas Nababan. Hakim tersebut berdalih, pembakaran hutan tidak merusak lingkungan karena hutan yang dibakar bisa ditanami kembali.
            Apa peran kita sebagai mahasiswa dan rakyat Indonesia untuk menegakkan keadilan di Indonesia ? Kita perlu menghargai  perbedaan antar manusia, jangan bertindak sewenang-wenang terhadap orang dan bertimbang rasa.

“Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati.” - Pramoedya Ananta Toer, Saya Terbakar Amarah Sendirian!

Share This :